Jepara dikenal khalayak umum sebagai kota ukir. Sebutan kota ukir memang sangat layak disematkan pada kota yang menjadikan produk meubel sebagai salah satu produk unggulan, dan ukiran adalah salah satu identitas mebel Jepara. Masyarakat Jepara begitu handal dalam seni ukir, bahkan hebatnya mereka bisa mengukir tanpa ikut kursus di lembaga formal maupun informal. Seakan Allah SWT memiliki desain tangan khusus ketika menciptakan manusia Jepara (SubhanAllah, Kun Fa Yakun).
Meski Jepara lebih dikenal sebagai kota ukir, sebutan lain yang tidak kalah
populer adalah kota santri. Sebutan ini juga sangat layak disematkan ke kota
Jepara lantaran begitu banyaknya jumlah pondok pesantren, tingginya persentase
penduduk beragama islam dan banyaknya ritus budaya yang sangat kental dengan
nuansa agama islam.
Pertemuan
budaya lokal dan agama (islam) yang begitu dominan di Jepara menciptakan
karya-karya fenomenal. Salah satu karya fenomenalnya adalah hari raya ketupat
(Kupatan-red). Jadi, di Jepara terdapat tiga hari raya yang terkenal yakni hari
raya Iedul Fitri, Iedul Adha, dan Kupatan. Kupatan tidak hanya populer di mata
masyarakat Jepara tapi juga terkenal sampai ke daerah-daerah sekitar Jepara
seperti Kudus, Pati, dan Demak. Bahkan ketika saya masih belajar di
Yogyakarta, banyak masyarakat Yogyakarta yang mengenal hari raya ketupat.
Kupat dan Lepet
Kupat dan
Lepet merupakan makanan khas yang disajikan pada hari raya ketupat atau
kupatan. Kupat (bahasa jawa-red) atau ketupat merupakan makanan yang berupa
nasi putih (beras biasa) yang dibungkus daun kelapa (hijau). Istilah kupat
merupakan gabungan dua suku kata yakni “ku” yang berarti aku, kulo (bahasa
jawa-red) atau saya dan “pat” dari kata lepat (bahasa jawa-red) yang
artinya lupa, khilaf, salah. Ketupat yang berbentuk segi empat memiliki
filosofi yang dalam, yakni menggambarkan empat arah mata angin (segala arah),
namun sumber lain menjelaskan bahwa bentuk kupat (segi empat) melambangkan
bentuk hati manusia. Jadi kupat secara istilah didefinisikan sebagai makanan
yang dibuat sebagai perwujudan permintaan maaf atas kesalahan yang bisa berasal
dari semua arah (mulut, mata, hidung, tangan, kaki dll). Ketupat sengaja
dibungkus dengan daun hijau (luar) yang bermakna kesalahan fisik (luar, lahir).
Lepet juga
merupakan nasi putih dari beras ketan yang dibungkus daun kelapa muda (daun
kuning atau janur). lepet maksudnya mangga dipun
silep ingkan rapet atau mari kita kubur
(kesalahan) yang rapat. Daun kelapa yang berwarna kuning (masih sangat
muda, belum mekar dan diambil dari bagian dalam) atau janur merupakan
singkatan dari sejatine nur (cahaya sejati). Janur sengaja dipilih
untuk membungkus nasi ketan memiliki makna yang sangat dalam yakni
merepresentasikan kesalahan batin (dalam).
Jadi,
ketupat merupakan perwujudan permintaan maaf atas kesalahan secara lahir
(lahiriyah) sedangkan lepet merupakan perwujudan permintaan maaf atas kesalahan
batin (Batiniyah). Kupatan merupakan momentum untuk saling memaafkan kesalahan
lahir dan batin (Dzohiron Wa Baatinan).
Hari Raya Ketupat
atau Kupatan
Ketupat
dan lepet memang banyak ditemukan di daerah lain di luar Jepara. Namun
perayaan hari raya ketupat tidak banyak ditemukan selain di Jepara kota santri.
Hari raya ketupat di Jepara jatuh pada hari ke 7 setelah hari raya idul fitri. Pemilihan
hari untuk perayaan kupatan ini tidak sembarangan, bukan hasil browsing dari
mbah google apalagi hasil bertapa. Pemilihan hari ini menyesuaikan hadis nabi
Muhammad SAW:
"Barangsiapa
berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan
Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh."
(H.R Muslim, Abu Dawud,
At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Puasa syawal merupakan puasa sunnah yang fadhilah (kegunaan) sangat
besar,
namun banyak yang meninggalkannya baik karena alasan malas maupun karena
alasan
fikih yang mendudukan puasa syawal sebagai puasa sunnah bukan puasa
wajib.
Alasan malas memang bisa diterima akal, karena puasa sunnah yang lainnya
diakhiri dengan adanya perayaan hari kemenangan (Yaumul Ied). Puasa
Arofah dan
Tarwiah di bulan Dzulhijjah misalnya diakhiri dengan perayaan hari raya
Iedul
Adha, puasa ramadhan selama se bulan penuh di akhiri dengan perayaan
Iedul Fitri. Sedangkan puasa sunnah syawal secara fikih tidak ditemukan
dalil naqli
yang menjelaskan adanya perayaan atas selesainya puasa syawal selama 6
hari
tersebut, sehingga kurang menarik bagi khalayak umum khususnya kaum
abangan
(awam).
Ulama’ di tanah jawa tidak kehilangan akal dalam berdakwah, dengan berpegang
pada hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang kebahagiaan orang yang
berpuasa yaitu:
“Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua
kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan
Rabbnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)”
Hadis tersebut secara eksplisit memberikan motivasi kepada siapa saja yang
menjalankan puasa (Ramadhan) bahwa ada kenikmatan besar yang akan kita rasakan
ketika kita berhasil menjalankan puasa. Secara implisit, hadis tersebut menjadi
dasar bagi kita bahwa ketika kita mengajak seseorang untuk melakukan kebaikan
(amar ma’ruf), hendaknya kita menggunakan dan menunjukkan “madu” kepada orang
yang kita ajak.
"Madu” itulah yang digunakan oleh para Ulama’ di tanah jawa untuk meng
”iming-imingi” masyarakat Jawa khsusnya Jepara untuk menjalankan puasa
syawal
(6 hari). Madu tersebut adalah hari raya ketupat atau kupatan. Sejak
itu,
hari raya ketupat sangat populer di Jepara. Hari raya ketupat bukanlah
masuk
dalam kategori Ubudiyah (ibadah mahdzoh atau ghoiru mahdzoh), namun
merupakan kebiasaan/adat (Urf) karya ulama-ulama Jawa khususnya Jepara.
Dalam ilmu fikih,
urf (kebiasaan/adat) yang sudah ada dalam masyarakat tidak dilarang
(haram)
selama tidak bertentangan dengan hukum islam. Oleh karea itu, budaya
kupatan
sampai sekarang tetap lestari di bumi kartini.
Dalam menciptakan suatu budaya/kebiasaan (urf) baru yang baik, Para Ulama’ Jawa juga
berpegang teguh pada hadist Nabi Muhammad SAW berikut:
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah
(perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan
pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang
sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah
yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang
yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa
mereka sedikitpun”.
(HR. Muslim No 1016)
(HR. Muslim No 1016)
Pada hari raya ketupat, para warga yang beragama islam membawa kupat dan lepet
ke masjid dan mushola terdekat. Sebelum kupat dan lepet dibagikan dan dinikmati
bersama-sama, Imam masjid akan memimpin doa terlebih dahulu. Rangkaian doa yang
wajib di baca adalah dua kalimat syahadad, istighfar sholawat, tasbih, tahmid,
takbir, tahlil dan surat-surat pendek. Masyarakat sengaja dikumpulkan untuk
mendoakan kupat dan lepet karena mengacu pada hadis nabi berikut:
“Berkumpullah kalian
ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya. Maka makanan kalian akan
diberkahi”
(HR Abu Dawud)
(HR Abu Dawud)
Kupatan kini
sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Jepara sebagai agenda tahunan.
Kupatan kini tidak hanya mengingatkan dan mengajak masyarakat Jepara untuk
menjalankan puasa syawal 6 hari, tapi juga sebagai momentum penggerak
perekonomian masyarakat Jepara. Hal ini terjadi karena setiap hari raya ketupat
semua tempat wisata di Jepara dibanjiri pengunjung. Masyarakat kecil mampu
menjual makanan dan karya-karyanya kepada para pengunjung, Pemerintah Kabupaten
juga mendapatkan guyuran “dana” dari pendapatan daerah non-pajak (karcis) dan
pendapatan dari pajak (banyaknya izin promosi/iklan di tempat wisata).
Begitulah cara para ulama’ terdahulu dalam berdakwah dan menggerakkan roda
perekonomian. Dengan kesantunan, keilmuan dan kreativitas mereka mampu
mempertahankan dan membumikan nilai-nilai islam di bumi kartini. Kondisi ini
dalam istilah populer disebut dengan pribumisasi islam, istilah pribumisasi
islam sendiri dipopulerkan oleh KH. Dr. (Hc). Abdurrahman Wahid. Islam dibangun
dari karya dan kreativitas. Islam selalu compatible dalam
setiap tempat dan waktu (Likulli Zamanin Wa Makan) ketika pemeluk islam itu
sendiri mampu memaknai dan menghayati intisari islam.
Semoga dengan adanya perayaan hari raya ketupat, kita senantiasa teringat dan
semangat dalam menjalankan puasa syawal (6 hari) dan senantiasa mendoakan
ulama’ yang telah mencurahkan pikirannya dalam berdakwah di bumi nusantara. Amiin
ya Mujibassailiin.
_________________________***Wallahu
A'lam Bi Showab***_____________________ __
Bangsri, 06
Syawal 1436
*Istilah
kupat dan lepet dalam tulisan ini diperoleh dari diskusi dengan sesepuh di
Bangsri dan studi literatur yang sedikit “amatiran”.