Science

A. Satwa
 Burung-Burung




Seleksi Habitat Burung Kuntul (Egretta sp.) 

SELEKSI HABITAT BURUNG KUNTUL (Egretta sp) DI DUSUN BERAN, DESA MARGODADI, KECAMATAN SEYEGAN, KABUPATEN SLEMAN
Subeno1 dan Ali Mahfud2

RINGKASAN
Burung Kuntul Kerbau merupakan salah satu jenis burung yang berasal dari famili Ardeidae yang dilindungi di Indonesia. Kawasan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah menjadi habitat burung kuntul dan sekarang masih bisa diamati terdapat di Dusun Beran, Desa Margodadi, Kecamatan Sayegan. Keberadaan jenis burung air khusunya burung Kuntul sangat tergantung dengan keberadaan lahan basah dan minimnya gangguan manusia. Tidak semua kawasan yang memenuhi kriteria habitat burung kuntul dipilih sebagai habitatnya, pemilihan suatu kawasan sebagai habitat melalui tahap seleksi yang cukup panjang.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik habitat Burung Kuntul di Dusun Beran, Desa Margodadi, Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman dan mengetahui faktor ekologis yang mempengaruhi habitat burung Kuntul di Dusun Beran, Desa Margodadi, Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman.
 Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampling protocol untuk mengetahui karakteristik habitat yang meliputi faktor biotik dan abiotik. Keberadaan populasi dilakukan melalui pengamatan secara  langsung. Analisis data dilakukan dengan menggunakan Uji Chi Square Test yang digunakan untuk mengetahui adanya sifat seleksi habitat pada satwa. Analisis Regressi Logistic digunakan untuk mengetahui faktor apa saja yang paling berpengaruh dengan fungsi seleksi sumber (Resource selection Function/RSF).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada seleksi habitat oleh burung kuntul. Karakteristik Habitat burung Kuntul (Egretta sp) di Dusun Beran, Desa Margodadi, Kecamatan Sayegan adalah bukit dengan dominansi tumbuhan berkayu khususnya bambu untuk habitat bersarang dan istirahat, dan sawah irigasi dengan pengolahan lahan secara rutin untuk habitat makan. Faktor ekologis yang berpengaruh terhadap seleksi habitat burung Kuntul adalah kerapatan semai, kerapatan sapihan, kerapatan tiang, dan kerapatan pohon.
                                                                                   
    Key words : Seleksi Habitat, Burung Kuntul, Desa Beran, Chi Square, Regresi logistic




1 Dosen Pengelolaan Satwa Liar FKT UGM, 2 Mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan


Tegakan yang rapat lebih dipilih oleh burung Kuntul (Egretta sp) sbg tempat bersarang

Kuntul termasuk Water Bird, Sawah menjadi salah satu habitatnya


Habitat Preferensi Burung Kuntul (Egretta sp.)


PREFERENCE HABITAT OF KUNTUL (Egretta sp.) IN BERAN
HAMLET, MARGODADI VILLAGE, SEYEGAN SUBDISTRICT,
SLEMAN REGENCY, D. I. YOGYAKARTA

By :
Ali Mahfud*
ABSTRACT
         Kuntul (Egretta sp.) is stated as one of the protected birds by the PP No.7 Th. 1999 due to their decreasing population. Kuntul (Egretta sp.) has special criteria in seeking for the sources as their habitat. It means that not all the sources which have suitable criteria are selected by the birds. Beran is an area located in the city of Yogyakarta which has been selected by Kuntul as their habitat. Therefore, to avoid the birds from the extinction risk, a research concerning the characteristics of Kuntul’s habitat in that area is needed to conduct. The aim of this study were to describe the biotical and physical condition of Kuntul’s habitat and to investigate the habitat preference in Beran.
      
      The methods used for collecting data were protocol sampling to collect physical data and combination method to collect biotical data. The data was taken by making transect and plot. The distance between transects was 250 m while that between plots was 200 m. Biophysical data were analyzed by using descriptive – qualitative method. Meanwhile, Neu index was used to examine the areas which being habitat preference.
       
     The research result showed that the physical condition of the area preferred by Kuntul as their habitat were: the average temperature (27.30 C), the average humidity (95.43%), the average distance between area and water sources (58.43 m), the average slopes (3.94 %), the average of rice field water height (1.29 cm), the average of rice field - mud thickness (7 cm), the average distance between area and residence (118 m), the dominant type of land use was rice field, and the total of activity in one type of land use was 1 activity. Meanwhile, the biotical condition of the area preferred by Kuntul as their habitat were: the average crown cover (32.62 %), the average grass shrub cover (64.29%), the seedlings density (0 ind/Ha), the saplings density (0 ind/Ha), the poles density (1000 ind/Ha), the trees density (1525 ind/Ha), and types of available food were grasshoppers, caterpillars, worms, and small amphibians. Lastly, the habitat preference for Kuntul in this area were located at Klakapan hamlet, Kandangan hamlet, and Beran hamlet.


Keywords: Habitat Preference, Kuntul (Egretta sp.), Beran Hamlet. 


*Student of the Department of Forest Resources Conservation, Faculty of Forestry, Universitas Gadjah Mada

Kuntul (Egretta sp) lebih menyukai pohon yang tinggi untuk tempat bersarang

Burung Kuntul (Egretta sp) mencari makanan (cacing) ketika sawah dibajak



B. Tanaman

Gamal (Gliricideae sepium) 


Pengujian Daun Gamal (Gliricideae sepium) sebagai Pematang Buah yang Alami dan Ramah Lingkungan
Oleh :
Ali Mahfud*

ABSTRAK

           Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas daun gamal (Gliricideae sepium) dalam mematangkan buah pisang.
            Penilitan ini dilakukan di Laboratorium Rekayasa Makanan Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada. Metode yang digunakan adalah metode komparasi yang disusun kedalam 3 perlakuan yaitu kontrol (Pisang : 0,2 kg), pemeraman dengan daun gamal (Pisang :0,2 kg, Daun Gamal : 0,8 kg), pemeraman dengan karbit (Pisang : 0,2 kg, Karbit 1,5 kg). Analisis yang digunakan adalah analisis laboratorium yang meliputi uji konsentrasi etilen pada daun gamal dengan menggunakan uji GC-MS (Gas Crhomatography), dan Uji Kematangan yang meliputi Uji Kandungan pati dan glukosa.
            Hasil penelitian ini menunjukan bahwa daun gamal mampu mematangkan buah pisang raja lebih cepat dibanding pisang kontrol. Laju pematangan pisang yang diperam dengan daun gamal : hari ke 4-5, pisang kontrol : hari ke 10-11, karbit : hari ke 3-4. Laju pembusukan pisang setelah diperam dengan karbit : hari ke 2-3, daun gamal : hari ke 3-4, Kontrol : hari ke 3-5. Kandungan vitamin A (microgram/100gr), pisang kontrol : 2951,51, pisang Karbit : 811,93, pisang gamal : 2217,58.
            Kesimpulan dari penelitian ini adalah daun Gamal (Gliricideae sepium) efektiv dalam mematangkan buah pisang Raja.

Kata Kunci : Gamal (Gliricideae sepium), Pematangan Buah, Etilen

* Mahasiswa Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

_________________________________________________________________________________________________________
_________________________________________________________________________________________________________
*********************************************************************************************************

Konversi Sawah dan Degradasi Lahan

Oleh:
Ali Mahfud, S.Hut dan Yayat Hidayat, SE

1.1 Latar belakang
Lahan  merupakan  sumberdaya  alam strategis   bagi   pembangunan.    Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Bidang pertanian,  lahan merupakan  sumber daya yang  sangat  penting,  baik  bagi  petani  maupun bagi pembangunan  pertanian.  Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian berjalan secara progresif dan sulit dihindari.
Perubahan  spesifik  dari penggunaan lahan untuk pertanian ke pemanfaatan nonpertanian yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan. Khusus untuk Indonesia, fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius jika tidak diantisipasi. Implikasinya alih fungsi lahan pertanian dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, degradasi lingkungan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat  menimbulkan  kerugian sosial.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi menuntut penyediaan lahan untuk perumahan dan lahan usaha/lapangan pekerjaan. Akibat kurang berkembangnya lapangan pekerjaan diluar sektor pertanian, maka orientasi masyarakat di pedesaan untuk dapat memenuhi kebutuhannya umumnya dengan membuka lahan pertanian baru. Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen PLA, 2013) menunjukkan  bahwa sekitar 80.000 hektar sawah beralihfungsi  ke penggunaan  lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Kerusakan lingkungan yang disebabkan alih fungsi lahan dapat dicerminkan oleh lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara menyangkut kemampuan daya dukung lingkungan untuk menyangga aktivitas manusia. Meluasnya lahan kritis telah menimbulkan dampak negatif berupa banjir ketika musim hujan dan kekeringan ketika musim kemarau karena hilangnya fungsi lahan sebagai tataguna air. 
Pengendalian degradasi lingkungan mutlak dilakukan karena menurunnya daya dukung lingkungan akan menghambat pencapaian pembangunan berkelanjutan. Pemerintah baik pusat maupun daerah sudah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengendalikan lahan kritis, pencemaran udara dan pencemaran air akibat alih fungsi lahan. Undang- undang No. 41 Tahun 2009 merupakan salah satunya regulasi yang dijadikan patokan oleh pemerintah untuk menekan laju konversi lahan dan mencegah degradasi lingkungan. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pasal 34 ayat 1 yang menyebutkan “Setiap orang yang memiliki hak atas tanah yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan berkewajiban memanfaatkan tanah sesuai peruntukan dan mencegah kerusakan irigasi, menjaga dan meningkatkan kesuburan tanah, mencegah kerusakan alam dan memelihara kelestarian lingkungan.
Implementasi kebijakan yang dibuat pemerintah tersebut hingga kini belum berhasil  diwujudkan secara optimal. Hal ini antara lain dikarenakan oleh kurangnya dukungan data dan minimnya sikap proaktif yang memadai ke arah pengendalian alih fungsi lahan tersebut. Hal ini menarik pula untuk diteliti apakah tipe kebijakan tersebut sudah sesuai dengan akar permasalahan yang terjadi di kasus lahan kritis, pencemaran air, dan pencemaran udara akibat alih fungsi lahan. Sawah merupakan salah satu lahan pertanian yang banyak digunakan masyarakat Indonesia. Adanya berbagai masalah yang muncul seperti pertumbuhan penduduk, pengembangan kawasan ekonomi, buruknya menagemen perairan / irigasi menjadikan sawah sebagai sasaran konversi. Konversi sawah memiliki banyak konsekuensi terhadap alam dan lingkungan, oleh karena itu perlu dilakukan kajian terkait dengan dampak konversi sawah terhadap degradai alam dan lingkungan.

1.2 Identifikasi Masalah
Latar belakang yang telah dikemukakan di atas terdapat beberapa masalah yang timbul:
1.        Terjadinya degradasi lahan dan lingkungan akibat pemanfaatan lahan yang menyalahi aturan dan tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan adanya banjir, erosi dan tanah longsor pada sebagian lereng yang curam.
2.    Ketersediaan lahan yang menurun, khususnya untuk pertanian (sawah) yang disebabkan pertumbuhan penduduk dan alih fungsi lahan akibat semakin ketatnya persaingan penggunanaan lahan yang jumlahnya terbatas untuk pertanian maupun non pertanian (permukiman, industri, jasa, transportasi dan sebagainya).
1.3 Tujuan
1.     Mengidentifikasi faktor–faktor yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan sawah.
2.     Menganalisis dampak alih fungsi lahan sawah terhadap degradasi lingkungan 
3.     Menganalisis langkah-langkah pengendalian alih fungsi lahan sawah.


II.  HASIL DAN PEMBAHASAN
            Pembahasan terkait dengan dampak konversi sawah terhadap degradasi lingkungan di Indonesia tidak bisa menghasilkan sebuah kesimpulan yang utuh, hal ini disebabkan oleh ketidakpastian dan ketidakjelasan data konversi sawah. Data luas sawah yang dirilis oleh masing-masing lembaga pemerintah memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Oleh karena itu, dalam makalah ini hanya akan dibahas beberapa konsekuensi yang akan terjadi ketika sawah dikonversi.
2.1 Ketersediaan Lahan Sawah di Indonesia
Data luas lahan sawah yang saat ini masih digunakan oleh masyarakat untuk bercocok tanam, baik sawah irigasi maupun sawah tadah hujan memiliki perbedaan antara sumber satu dengan sumber yang lain. Data yang dirilis oleh Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa luas lahan sawah pada tahun 2010 sebesar 7.741.522 ha, sedangkan luas lahan sawah berdasarkan pada data kesepakatan antara BPN dengan Kementerian Pertanian pada tahun 2010 sebesar 8.002.552 ha. Luas lahan sawah pada tahun 2008 yaitu 7.991.564 ha, jika kita hubungkan data tersebut dengan data dari Pusdatin Kementan (2010) maka kita akan menyimpulkan bahwa terjadi penurunan luas lahan sawah dalam kurun waktu 2 tahun (2008-2010) sebesar 250.000 ha. Namun jika kita mengacu pada data hasil kesepakatan antara BPN dengan Kementerian Pertanian justru terjadi penambahan luas lahan sawah sebesar 10.988 ha. Perbedaan luas konversi sawah juga terjadi antara data pada tingkat kabupaten dengan provinsi, hasil penelitian Irawan (2004) menunjukkan bahwa terjadi selisih luas lahan sawah yang dikonversi antara kabupaten dengan provinsi sebesar 53,69% (1978-1988), 57,95% (1988-1998), 55,10% (1978-1988).  
 Perbedaan data pada masing-masing lembaga tersebut bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah metode yang digunakan dalam penghitungan luas lahan sawah. Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (2009) menjelaskan bahwa data luas lahan sawah di Jawa yang dihasilkan dari metode remote sensing (Lansat 7) dengan data hasil survey BPS terdapat perbedaan yang signifikan yakni 3.645.745 ha (BPS) dan 3.057.294 ha (remote sensing). Kondisi ini menyebabkan analisis konversi lahan sawah di Indonesia mengalami gangguan dalam membuat kesimpulan.
Penulis berpendapat bahwa luas lahan sawah di Indonesia mengalami penurunan akibat adanya konversi lahan oleh masyarakat. Pendapat tersebut mengacu pada data hasil sensus pertanian tahun 2003 yang menyatakan bahwa konversi sawah ke penggunaan lainnya mencapai 187,7 ha per tahun sedangkan luas pencetakan sawah baru hanya mencapai 46,4 ribu ha per tahun (Sutomo, 2004). Pandangan tersebut diperkuat oleh Winoto (2005) yang menyatakan bahwa alih fungsi lahan pertanian disebabkan oleh faktor pertumbuhan penduduk, faktor ekonomi dan faktor sosial budaya.
Faktor kependudukan, jumlah penduduk di Indonesia mengalami peningkatan, hal ini menandakan bahwa jumlah lahan yang dibutuhkan (pemukiman, industri, pertokoan) oleh manusia secara otomatis akan meningkat, konsekuensinya lahan pertanian menjadi salah satu tujuan yang akan dikonversi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut.
Faktor ekonomi, pembangunan ifrastruktur (transportasi) di Indonesia mengalami peningkatan  seiring dengan pertumbuhan ekonomi, pembangunan infrastruktur transportasi (jalan) akan meningkatkan nilai ekonomi lahan yang dilalui jalur transportasi tersebut. Kondisi ini akan memacu masyarakat untuk melakukan alih fungsi lahan pertanian (sawah) untuk fungsi yang lain seperti lahan untuk pemukiman, industri dan pertokoan. Peningkatan laju perubahan fungsi lahan pertanian selain karena akibat perubahan infrastruktur transportasi juga disebabkan oleh tingginya land rent dari aktifitas sektor non-pertanian. Penggunaan lahan untuk pertanian di Indonesia memang kurang memberi keuntungan kepada para petani, hal ini memicu masyarakat untuk menggunakan lahan pertanian yang dimiliki untuk keperluan yang lain.
 Faktor sosial budaya, keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun skala ekonomi usaha yang menguntungkan. Fragmentasi lahan pertanian akan berjalan lebih cepat ketika faktor sosial budaya tersebut masih dipertahankan dan didukung oleh adanya peningkatan laju pertumbuhan penduduk.
2.2 Dampak Konversi Lahan Sawah Terhadap Degradasi Lingkungan
Natuhara (2012) menjelaskan bahwa sawah memiliki peran yang sangat penting bagi manusia terutama dalam penyedia jasa ekosistem (ecosystem services), konversi lahan sawah dapat menyebabkan menurunnya kualitas lingkungan di antaranya yaitu:
2.2.1 Banjir
            Sawah mampu meningkatkan kapasitas penyimpanan air dalam suatu DAS. Sawah yang berada di dataran rendah dan berada di dekat sungai memiliki peran sebagai daerah penyangga air ketika terjadi hujan lebat. Air hujan yang jatuh akan tersimpan atau ditampung terlebih dahulu, sehingga air tidak langsung masuk ke badan sungai, hal ini menjadi salah satu alat pengendali banjir yang efektif. Prinsip pengendalian banjir adalah mencegah limpasan air hujan ke sungai secara langsung dan memecah aliran sungai ke bebarapa jalur. Dengan mencegah limpasan (run off) air hujan ke sungai secara langsung dan memecah aliran sungai ke bebrapa jalur maka potensi banjir akan berkurang. Banjir terjadi ketika volume sungai tidak lagi mampu menampung air yang masuk, sehingga air meluap ke daerah sekitar sungai tersebut. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sawah memiliki peran penting dalam mencegah terjadinya banjir. Hal ini terjadi kerena menurut Natuhara (2012) sawah mampu menurunkan limpasan (air hujan) pada saluran air utama sekitar 26%. Banjir merupakan salah satu jenis bencana di yang paling banyak menimbulkan dampak negatif terhadap kualitas hidup manusia. Dampak negatif banjir diantaranya adalah timbulnya beberapa penyakit (menular dan tidak menular), terjadinya pencemaran udara dan air dan rusaknya berbagai sumberdaya alam.
2.2.2 Pasokan Air Tanah Berkurang
          Jenis tanah alluvium yang terdapat di sawah (sekitar sungai/danau) merupakan tanah yang mampu menyerap dan menyimpan air dengan baik. Pengairan sawah merupakan salah satu cara pengisian air tanah, hal ini terjadi karena sawah mampu menahan dan menyimpan air sungai (irigasi) yang masuk ke areal persawahan (Ichikawa, 2002 dalam Natuhara, 2012). Natuhara (2012) menjelaskan meskipun persentase sawah di DAS Shira-Jepang hanya 15% namun kemampuan sawah dalam mengisi air tanah sekitar 1.5 x 108 atau sebanding dengan setengah dari total limpasan air di Sungai Shira. Hal ini menunjukkan bahwa sawah memiliki potensi yang besar dalam menyimpan air tanah. Cadangan air tanah di kawasan padat penduduk mengalami penurunan, hal ini terjadi karena adanya pengambilan air tanah secara besar-besaran (Hotel dan industri). Kondisi ini akan semakain buruk ketika areal persawahan yang ada di sekitar kawasan pemukiman tidak dipertahankan, maka akan timbul berbagai dampak negatif. Air bersih merupakan kebutuhan pokok manusia, ketika pasokan air bersih yang ada di tanah tidak tersedia maka kehidupan manusia akan terganggu.
2.2.3 Pencemaran Air
Pertanian dalam beberapa kondisi memang berperan sebagai kontibutor polusi khususnya polusi/pencemaran air. Namun, sawah sejatinya memiliki peran penting dalam meningkatkan kualitas air khususnya menjernihkan air ketika air irigasi yang mengandung nitrogen (N) dan fosfor (P) (Tabuchi et al. 1998 dalam Natuhara, 2012). Pengurangan konsentrasi polutan seperti N terjadi ketika terdapat penggunaan air irigasi secara berulang. Pengelolaan sawah yang meminimalkan penggunaan bahan kimia mampu menjernihkan air. Pengurangan konsentrasi N pada air disebabkan oleh penggunaan kembali (reuse) air untuk pertumbuhan tanaman (padi) dan denitrifikasi nitrat/nitrit-N di aeal persawahan. Hal ini membuktikan bahwa ketika areal persawahan dikonversi menjadi area penggunaan lain maka alat penjernih air secara alami sudah tidak ada, akibatnya masyarakat akan menggunakan atau memanfaatkan air dengan kualitas yang rendah.
2.2.4 Pemanasan Global
          Areal persawahan terbukti mampu menurunkan 20C suhu di Kota Tokyo. Perubahan iklim terjadi seiring dengan peningkatan suhu di bumi. Pengaruh urban heat island terhadap peningkatan suhu bumi sangat nyata. Sawah memiliki peran yang cukup besar dalam mengurangi pengaruh heat island tersebut. Heat island terjadi ketika suatu kawasan didominasi oleh benda-benda yang tidak mampu menyerap sinar matahari, akibatnya cahaya tersebut dipantulkan dan kembali lagi ke bumi sehingga suhunya meningkat (efek rumah kaca). Tanaman padi dan tanaman yang lain di areal persawahan mampu menyerap sinar matahari untuk proses fotosintesis, akibatnya sinar matahari tidak dipantulkan kembali ke atmosfir, sehingga suhu di permukaan bumi akan lebih rendah disbanding kawasan yang tidak mampu menyerap sinar matahari. Kawasan industri diketahui merupakan kawasan yang didominasi bangunan fisik yang tidak memiliki kemampuan menyerap sinar matahari, tapi justru memantulkan sinar matahari tersebut ke atmosfir akibatnya suhu pada kawasan tersebut mengalami peningkatan.
2.2.5 Berkurangnya Pendapatan Petani
          Sawah selain berperan sebagai tempat tumbuhnya padi, juga berperan sebagai tempat budidaya ikan yang cukup efektif. Coche (1967) dalam Natuhara (2012) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat 24 negara yang membudidayakan ikan di sawah. Hasil panen ikan dari areal persawahan di Jepang mampu menghasilkan 1800 kg/ha. Hal ini membuktikan bahwa peran sawah sangat penting khususnya dalam meningkatkan pendapatan petani. Di beberapa negara Asia telah menggunakan areal persawahannya untuk budidaya ikan dan penenaman jenis tanaman obat. Ikan sebagai sumber protein yang murah bagi masyarakat kelas bawah sampai kelas atas. Keberadaan sawah sebagai tempat budidaya ikan merupakan cara petani mendapatkan pasokan protein secara mudah dan murah. Ketika sawah dikonversi untuk penggunaan lainnya, maka petani akan mengalami penurunan pendapatan dan kesulitan mendapatkan pasokan protein hewani.
2.2.6 Hilangnya Keanekaragaman Hayati
          Sawah sebagai salah satu kawasan wetlands memiliki peran yang cukup penting dalam mempertahankan dan menjaga keanekaragaman hayati yang hidup di kawasan tersebut. Kiritani (2010) dalam Natuhara (2012) menjelaskan bahwa terdapat lebih dari 500 spesies yang hidup di sawah dan di sekitar sawah. Di Korea dan Jepang tercatat lebih dari 30% (135 spesies) burung asli (native spesies) menggunakan areal persawahan, 24% spesies yang memanfaatkan sawah sebagai tempat hidup (habitat) merupakan spesies yang terancam baik terancam dalam skala nasional maupun skala global. Hal ini membuktikan bahwa peran sawah dalam mempertahankan keanekaragaman hayati sangatlah besar.
2.3 Upaya Pencegahan Konversi Lahan Sawah
            Upaya yang bisa dilakukan dalam rangka menekan laju konversi lahan dan mengurangi dampak negatif dari adanya konversi lahan sawah diantaranya adalah:
2.3.1 Reformasi Agraria (Land Reform) dan Landasan Hukum Kebijakan Alih Fungsi Lahan
Pengertian reformasi agraria secara luas mencakup pengaturan hubungan manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan kesempata yang   menyangkut   pemanfaatan   laha bag warga  masyarakat sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :
1.   Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas, usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi pendapatan masyarakat.
2.     Penentuan  luas  penguasaan  lahan  yang  memungkinkan  pemiliknya  dapat memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).
3.     Pengaturan hubungan pemilik dan penggarap (UU bagi hasil, dan lain-lain).
4.     Penyebaran  informasi/peraturan   yang   menyangkut   pertanahan   kepada masyarakat.
5.     Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.
6.     Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri, pemukiman, hutan lindung, dan lain-lain).
Secara konseptual, agraria terdiri dari dua aspek utama yang berbeda, yaitu aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan. Aspek penguasaan dan pemilikan jelas berbeda dengan aspek  penggunaan  dan  pemanfaatan.  Karena  yang pertama  berkenaan  dengan bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua berkenaan dengan bagaimana tanah (dan sumber daya agraria lain) digunakan dan dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi. Undang-Undang Peraturan Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dan amandemen UU tersebut yang sudah sejak tahun 2003 yang telah dimasukkan  oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari pada aspek penggunaan.
Penegakan hukum agraria dipandang mampu mengatasi persolan konflik kepentingan atas penggunaan lahan pertanian. Landasan hukum dari kebijakan alih fungsi lahan pertanian harus mengacu:
1.  Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa segala bentuk perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum. Santosa (2011) mengusulkan perlunya dibuat sawah abadi untuk mencegah adanya konversi sawah.
2.     Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama pada pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibatalkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.3.2 Meningkatkan Pendapatan Petani
          Konversi lahan sawah yang terjadi di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh minimnya pendapatan petani penggarap sawah. Pendapatan petani yang rendah dikarenakan biaya produksi yang tinggi sedangkan hasil panennya rendah. Kondisi demikian memicu para petani mengalihfungsikan lahan sawah mereka, kondisi tersebut juga memicu petani untuk beralih profesi. Atas latar belakang tersebut maka sudah sepatutnya pemerintah melakukan perubahan kebijakan yang dapat meningkatkan kesejahteraan petani.
          Tingginya biaya produksi pertanian umumnya disebabkan oleh harga pupuk dan bibit yang tinggi, oleh karena itu pemerintah perlu memberikan subsidi dan insentif atas hasil yang diraih oleh petani. Pemberian subsidi difungsikan untuk mengurangi biaya produksi sehingga petani akan mendapatkan keuntungan yang lebih tiggi. Insentif difungsikan untuk memacu semangat petani dalam meningkatkan kreatifitas pengolahan pertanian mereka. Pemerintah Jepang adalah salah satu contoh negara yang berhasil dalam memberikan subsidi dan insentif pada petani. Pemerintah Jepang memberikan subsidi bagi petani yang memiliki lahan yang luas dan memberikan insentif ketika petani mampu menghasilkan produksi pertanian yang melewati standar yang telah ditetapkan. Jepang juga menerapkan sertifikasi produk pertanian, produk pertanian yang menerapkan pengelolaan yang ramah lingkungan akan memiliki harga yang lebih tinggi (Natuhara, 2012).
          Pemerintah sudah saatnya memberikan insentif kepada masyarakat petani karena mereka secara tidak langsung telah membantu pemerintah dalam mempertahankan habitat berbagai macam jenis satwa yang dilindungi (30% di Jepang dan Korea). Negara maju telah memiliki beberapa program insentif khusus petani. Negara-negara maju telah menerapkan aturan tersebut, Amerika misalnya telah menerapkan program ESA (Endangered Species Act), yaitu sebuah program pemberian insentif kepada para petani yang lahan pertanian miliknya tersebut ditempati oleh satwa yang dilindungi atau satwa dengan status rentan. Conservation Reserve Program (CRP) merupakan sebuah program pemberian insentif kepada para petani ketika kawasannya memiliki peran sebagai habitat satwa, penahan laju erosi, daerah penyangga banjir, dan memiliki manfaat sebagai penyedia jasa lingkungan (Walls and Riddle, 2012).
2.3.3 Peningkatan Teknik Ekologi Pengelolaan Sawah
          Natuhara (2012) menjelaskan beberapa teknik ekologi yang bisa diterapkan di sawah untuk meningkatkan produksi sawah dan mengurangi dampak negatif yang timbul di areal persawahan diantaranya adalah 1) teknologi untuk memperbaiki habitat satwa dan tanaman, 2) pengelolaan pertanian dengan dampak yang rendah terhadap keanekaragaman hayati dan lingkungan sawah, 3) pembentukan partisipasi dan modal sosial. Teknologi untuk perbaikan habitat dilakukan dengan memperbaiki konektivitas sungai (sumber air) dengan sawah, membuat variasi kanal, menyediakan gubuk pada kanal irigasi dan memperbaiki alat tani. Terdapat berbagai macam ikan yang hidup di areal persawahan, oleh karena itu perlu dibuatkan survey persebaran ikan dan kanal-kanal yang berfungsi menampung ikan.
Kekeringan juga merupakan faktor yang berpengaruh terhadap konversi lahan sawah. Kekeringan menjadi salah satu penyebab gagal panen. Gagal panen mengurangi minat petani untuk mengolah sawah, akhirnya sawah dibiarkan saja dan diganti dengan peruntukkan yang lain. Oleh karena itu, penataan dan pembangunan irigasi sawah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dilakukan. Balai Hidrologi (2002) mencatat bahwa dua propinsi di Indonesia mengalami kritis air (defisit 20-40%), 18 provinsi mengalami kurang air (defisit 20%) dan hnaya 10 provinsi yang cukup air. Kondisi kurangnya pasokan air pada setiap provinsi tersebut mengharuskan pemerintah untuk menambah dan membuat waduk, membuat waduk-waduk kecil dan melakukan penghematan air yakni dengan membuat sumur resapan dengan tujuan mencegah terjadinya kekeringan sehinga sawah tidak mengalami gagal panen.  
IV.  KESIMPULAN
1.    Faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah adalah laju pertumbuhan penduduk, kondisi sosial-budaya dan ekonomi.
2.   Dampak konversi lahan sawah adalah banjir, pemenasan global, kerentanan pangan, hilangnya keanekaragaman hayati, berkurangnya pasokan air tanah, pencemaran air dan berkurangnya pendapatan petani.
3.   Langkah langkah pengendalian laju konversi lahan sawah adalah adanya reformasi agraria, peningkatan subsidi dan intensif kepada petani dan peningkatan teknologi pengelolaan lahan sawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar