Rabu, 11 November 2015

Kupatan, Hari Raya Ke-3 di Jepara


Jepara dikenal khalayak umum sebagai kota ukir. Sebutan kota ukir memang sangat layak disematkan pada kota yang menjadikan produk meubel sebagai salah satu produk unggulan, dan ukiran adalah salah satu identitas mebel Jepara. Masyarakat Jepara begitu handal dalam seni ukir, bahkan hebatnya mereka bisa mengukir tanpa ikut kursus di lembaga formal maupun informal. Seakan Allah SWT memiliki desain tangan khusus ketika menciptakan manusia Jepara (SubhanAllah, Kun Fa Yakun).
        Meski Jepara lebih dikenal sebagai kota ukir, sebutan lain yang tidak kalah populer adalah kota santri. Sebutan ini juga sangat layak disematkan ke kota Jepara lantaran begitu banyaknya jumlah pondok pesantren, tingginya persentase penduduk beragama islam dan banyaknya ritus budaya yang sangat kental dengan nuansa agama islam.
      Pertemuan budaya lokal dan agama (islam) yang begitu dominan di Jepara menciptakan karya-karya fenomenal. Salah satu karya fenomenalnya adalah hari raya ketupat (Kupatan-red). Jadi, di Jepara terdapat tiga hari raya yang terkenal yakni hari raya Iedul Fitri, Iedul Adha, dan Kupatan. Kupatan tidak hanya populer di mata masyarakat Jepara tapi juga terkenal sampai ke daerah-daerah sekitar Jepara seperti Kudus, Pati, dan Demak.  Bahkan ketika saya masih belajar di Yogyakarta, banyak masyarakat Yogyakarta yang mengenal hari raya ketupat.

Kupat dan Lepet
       Kupat dan Lepet merupakan makanan khas yang disajikan pada hari raya ketupat atau kupatan. Kupat (bahasa jawa-red) atau ketupat merupakan makanan yang berupa nasi putih (beras biasa) yang dibungkus daun kelapa (hijau). Istilah kupat merupakan gabungan dua suku kata yakni “ku” yang berarti aku, kulo (bahasa jawa-red)  atau saya dan “pat” dari kata lepat (bahasa jawa-red) yang artinya lupa, khilaf, salah. Ketupat yang berbentuk segi empat memiliki filosofi yang dalam, yakni menggambarkan empat arah mata angin (segala arah), namun sumber lain menjelaskan bahwa bentuk kupat (segi empat) melambangkan bentuk hati manusia. Jadi kupat secara istilah didefinisikan sebagai makanan yang dibuat sebagai perwujudan permintaan maaf atas kesalahan yang bisa berasal dari semua arah (mulut, mata, hidung, tangan, kaki dll). Ketupat sengaja dibungkus dengan daun hijau (luar) yang bermakna kesalahan fisik (luar, lahir).
    Lepet juga merupakan nasi putih dari beras ketan yang dibungkus daun kelapa muda (daun kuning atau janur). lepet maksudnya mangga dipun silep ingkan rapet atau mari kita kubur (kesalahan) yang rapat. Daun kelapa yang berwarna kuning (masih sangat muda, belum mekar dan diambil dari bagian dalam)  atau janur merupakan singkatan dari sejatine nur (cahaya sejati). Janur sengaja dipilih untuk membungkus nasi ketan memiliki makna yang sangat dalam yakni merepresentasikan kesalahan batin (dalam).
   Jadi, ketupat merupakan perwujudan permintaan maaf atas kesalahan secara lahir (lahiriyah) sedangkan lepet merupakan perwujudan permintaan maaf atas kesalahan batin (Batiniyah). Kupatan merupakan momentum untuk saling memaafkan kesalahan lahir dan batin (Dzohiron Wa Baatinan).

Hari Raya Ketupat atau Kupatan
      Ketupat dan lepet memang banyak ditemukan di daerah lain di luar Jepara. Namun perayaan hari raya ketupat tidak banyak ditemukan selain di Jepara kota santri. Hari raya ketupat di Jepara jatuh pada hari ke 7 setelah hari raya idul fitri.  Pemilihan hari untuk perayaan kupatan ini tidak sembarangan, bukan hasil browsing dari mbah google apalagi hasil bertapa. Pemilihan hari ini menyesuaikan hadis nabi Muhammad SAW:
"Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh."
(H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i dan Ibnu Majah)

    Puasa syawal merupakan puasa sunnah yang fadhilah (kegunaan) sangat besar, namun banyak yang meninggalkannya baik karena alasan malas maupun karena alasan fikih yang mendudukan puasa syawal sebagai puasa sunnah bukan puasa wajib. Alasan malas memang bisa diterima akal, karena puasa sunnah yang lainnya diakhiri dengan adanya perayaan hari kemenangan (Yaumul Ied). Puasa Arofah dan Tarwiah di bulan Dzulhijjah misalnya diakhiri dengan perayaan hari raya Iedul Adha, puasa ramadhan selama se bulan penuh di akhiri dengan perayaan Iedul Fitri. Sedangkan puasa sunnah syawal secara fikih tidak ditemukan dalil naqli yang menjelaskan adanya perayaan atas selesainya puasa syawal selama 6 hari tersebut, sehingga kurang menarik bagi khalayak umum khususnya kaum abangan (awam).
   Ulama’ di tanah jawa tidak kehilangan akal dalam berdakwah, dengan berpegang pada hadis Rasulullah SAW yang menjelaskan tentang kebahagiaan orang yang berpuasa yaitu:

 Bagi orang yang melaksanakan puasa ada dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya. (Muttafaqun ‘Alaihi)

    Hadis tersebut secara eksplisit memberikan motivasi kepada siapa saja yang menjalankan puasa (Ramadhan) bahwa ada kenikmatan besar yang akan kita rasakan ketika kita berhasil menjalankan puasa. Secara implisit, hadis tersebut menjadi dasar bagi kita bahwa ketika kita mengajak seseorang untuk melakukan kebaikan (amar ma’ruf), hendaknya kita menggunakan dan menunjukkan “madu” kepada orang yang kita ajak.
    "Madu” itulah yang digunakan oleh para Ulama’ di tanah jawa untuk meng ”iming-imingi” masyarakat Jawa khsusnya Jepara untuk menjalankan puasa syawal (6 hari).  Madu tersebut adalah hari raya ketupat atau kupatan. Sejak itu, hari raya ketupat sangat populer di Jepara. Hari raya ketupat bukanlah masuk dalam kategori Ubudiyah (ibadah mahdzoh atau ghoiru mahdzoh), namun merupakan kebiasaan/adat (Urf) karya ulama-ulama Jawa khususnya Jepara. Dalam ilmu fikih, urf (kebiasaan/adat) yang sudah ada dalam masyarakat tidak dilarang (haram) selama tidak bertentangan dengan hukum islam. Oleh karea itu, budaya kupatan sampai sekarang tetap lestari di bumi kartini.
     Dalam menciptakan suatu budaya/kebiasaan (urf) baru yang baik, Para Ulama’ Jawa juga berpegang teguh pada hadist Nabi Muhammad SAW berikut:

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. 
 (HR. Muslim No 1016)

    Pada hari raya ketupat, para warga yang beragama islam membawa kupat dan lepet ke masjid dan mushola terdekat. Sebelum kupat dan lepet dibagikan dan dinikmati bersama-sama, Imam masjid akan memimpin doa terlebih dahulu. Rangkaian doa yang wajib di baca adalah dua kalimat syahadad, istighfar sholawat, tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan surat-surat pendek. Masyarakat sengaja dikumpulkan untuk mendoakan kupat dan lepet karena mengacu pada hadis nabi berikut:

“Berkumpullah kalian ketika makan, dan sebutlah nama Allah padanya. Maka makanan kalian akan diberkahi” 
(HR Abu Dawud) 
 
    Kupatan kini sudah ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Jepara sebagai agenda tahunan. Kupatan kini tidak hanya mengingatkan dan mengajak masyarakat Jepara untuk menjalankan puasa syawal 6 hari, tapi  juga sebagai momentum penggerak perekonomian masyarakat Jepara. Hal ini terjadi karena setiap hari raya ketupat semua tempat wisata di Jepara dibanjiri pengunjung. Masyarakat kecil mampu menjual makanan dan karya-karyanya kepada para pengunjung, Pemerintah Kabupaten juga mendapatkan guyuran “dana” dari pendapatan daerah non-pajak (karcis) dan pendapatan dari pajak (banyaknya izin promosi/iklan di tempat wisata).
   Begitulah cara para ulama’ terdahulu dalam berdakwah dan menggerakkan roda perekonomian. Dengan kesantunan, keilmuan dan kreativitas mereka mampu mempertahankan dan membumikan nilai-nilai islam di bumi kartini. Kondisi ini dalam istilah populer disebut dengan pribumisasi islam, istilah pribumisasi islam sendiri dipopulerkan oleh KH. Dr. (Hc). Abdurrahman Wahid. Islam dibangun dari karya dan kreativitas. Islam selalu compatible dalam setiap tempat dan waktu (Likulli Zamanin Wa Makan) ketika pemeluk islam itu sendiri mampu memaknai dan menghayati intisari islam.
   Semoga dengan adanya perayaan hari raya ketupat, kita senantiasa teringat dan semangat dalam menjalankan puasa syawal (6 hari) dan senantiasa mendoakan ulama’ yang telah mencurahkan pikirannya dalam berdakwah di bumi nusantara. Amiin ya Mujibassailiin. 

_________________________***Wallahu A'lam Bi Showab***_______________________


Bangsri, 06 Syawal 1436
*Istilah kupat dan lepet dalam tulisan ini diperoleh dari diskusi dengan sesepuh di Bangsri dan studi literatur yang sedikit “amatiran”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar